Aku
hanya termenung memandang langit pada malam itu. Benar-benar gelap, hanya
puluhan bintang yang berkelip kala itu.
Bunyi petir masih mengganggu manusia untuk sekedar istirahat. Sekedar membuka buku, malas masih menghantui.
Kumpulan tugas tertumpuk rapi dalam pikiran. Seragam dan tassekolah pun lupa
ditaruh mana. Hingga hembusan angin malam membuat ngantuk kembali datang dan
terbangun dikala adzan subuh meramaikan angkasa raya.
“Gil, Agil.. Ayo Budal!!“
(Ayo Berangkat)
Teriakan Tulus, salah satu temanku
biasa terdengar ketika hendak berangkat ke sekolah. Bahkan ketika aku tertidur
pulas, suara tersebut membangunkan ku. Pagi itu, aku bangun siang dan lupa
untuk sarapan maupun menyiapkan buku. Semua buku yang terletak di atas meja
langsung dimasukkan ke dalam tas yang mulai rusak.
“loh, kok nggak sarapan?” Tanya Ibuk tatkala melihatku memakai sepatu.
“Sudah ketinggalan buk. Nanti kalau
istirahat aku tak pulang, Insya Allah” Jawabku terburu-buru.
Ku salami tangannya. Ibuk
memberikanku uang saku dan nasihat seperti halnya pagi-pagi sebelumnya “Sekolah yang tenanan, nak!”(Sekolah yang sungguh-sungguh, nak!)
Jam menunjukkan pukul 06.45.
Pertanda gerbang sekolah akan ditutup. Jarak sekolahku dengan rumah yang dekat
bukan menjadikanku siswa yang tidak pernah terlambat. Justru hukuman adalah
salah satu hal yang harus ku lakukan setiap harinya karena sering terlambat.
“Agil dan Tulus, kesini!” Teriak Pak
Muktamir. Guru piket kala itu
“Iya Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“omahmu
iku cedak, kok keri terus to? (rumahmu itu dekat, kok terlambat terus?)
Tanya beliau dengan kedua tangannya dimasukkan kedalam saku celana.
Aku dan temanku hanya diam kala itu.
Sangat malu karena kami notabene adalah senior tapi seluruh siswa kelas X
menertawakan kami. Sedangkan Pak Muktamir menunggu jawaban kami dengan wajah
yang penuh dengan amarah. Akhirnya kami dihukum untuk berlari di lapangan selama
10 kali dibawah sinar matahari yang mulai terik pada hari itu.
Sesampainya di hukum, kami bersegera
menuju ke kelas untuk mengikuti ngaji pagi yang di pimpin oleh Bu Wiwik
Cutiani. Beliau adalah salah satu guru matematika dan biologi yang paling enak
menurut siswa-siswi di sekolah. Kebetulan beliau juga mendapatkan tugas untuk
mengawas ngaji di kelas XI IPA 1 yang tak lain adalah kelas kami.
“Anak-anak, Besok saya tidak bisa
memimpin ngaji di depan kelas. Jadi saya tolong jika besok mengaji jangan rame dan jangan balapan kalau ngaji.
Meskipun saya besok tidak ada, kan
Allah melihat kalian semua? Bu Wiwik Insya Allah besok mau pulang kampung ke
Madiun. Doakan ya semoga selamat sampai tujuan.” Kata beliau sambil menahan batuk.
“Iya Bu Wiwik. Insya Allah.
Hati-hati di jalan, bu!” jawab sekelas dengan kompak.
Entah mengapa, hari itu beliau
menitikkan air mata sambil membawa mushaf Al-qur’an dan buku paket matematika
ketika berjalan keluar kelas. Aku dan teman-teman sekelas menengok dari jendela
untuk melihat beliau.
“Kenapa bu?” Tanya Ifdayati
“Nggak papa, nak! Sekolah yang
sungguh-sungguh. Gapai cita-citamu! Masih ada 1,5 tahun lagi kamu disini. Buat
bahagia kedua orangtua mu.” Kata beliau sambil melangkah menuju ke kantor guru.
Tangisnya tak terelakan lagi.
Langkah beliau semakin pelan dan akhirnya berhenti ke kantin yang dekat dengan
kantor. Dengan hujan yang secara tiba-tiba datang membasahi sekolah, beliau
menyeka kedua matanya yang telah basah karena tangisan tadi.
“Wonten
nopo, bu?”(Ada apa, bu?) Tanya mbak Ana, salah satu petugas kantin.
“Nggak papa mbak. Saya pesen mie
ayam dan es teh satu nggeh?”
“Iya bu, tunggu 5 menit.”
“Nggeh
mbak”
Hujan yang semakin deras dikala
istirahat tak membuat keinginanku dan teman-teman untuk pergi ke kantin. Aku,
Bagas, Mukib, Tulus, dan Febri memutuskan untuk menerobos hujan untuk sekedar
makan mie ayam. Tiba-tiba Bu Wiwik memanggilku dari kantin
“Gil, kesini nak!” teriak beliau
meskipun suara hujan semakin keras.
“Nggeh
bu.”
“Jaga teman-temanmu ya!”
“Memang kenapa teman-teman bu?”
“Ya tidak apa-apa. Saya takut kalau
mereka kelak tidak jadi orang yang sukses”
“Mengapa njenengan kok bilang begitu? Tanya ku penuh heran.
“Nggak
papa gil. Saya hanya takut saja. Yang penting sekolah yang rajin dan jangan
sering melanggar apalagi terlambat. Kasian orang tuamu di rumah yang jungkir
balik karena kamu.”
Tiba-tiba beliau kembali meneteskan
air mata. Namun beliau langsung membersihkan dengan tisu.
“Jadilah anak yang sholeh. Jika kamu kelak menjadi guru,
jadilah guru yang baik dan pantas dicontoh oleh siswa” Kata bu Wiwik sambil
menahan batuk.
Kami berlima tak kuasa menahan haru.
Langkah Bu Wiwik menuju kantor menjadi lemah seperti tak memiliki semangat.
Entah beliau sakit ataupun yang lain-lain kami kurang tahu. Hingga akhirnya
kami memutuskan untuk melanjutkan makan mie ayam di tengah hujan yang semakin
deras.
Keesokan hari, Pagi masih seperti
biasa. Teriakan Tulus dari depan rumah layaknya pengingat untuk berangkat ke
sekolah. Matahari serasa terik meskipun jam masih menunjukkan pukul 06.30. aku
masih malas untuk siap-siap sekolah. Namun tiba-tiba aku ingat dengan nasihat
bu Wiwik pada kemarin.
“Yang penting sekolah yang rajin dan
jangan sering melanggar. Apalagi terlambat. Kasian orangtua mu di rumah yang
jungkir balik karena kamu”
Aku bersegera untuk mencari seragam
olahraga dan bergegas menuju ke sekolah dengan restu Abah dan Ibuk. “Sekolah sing tenanan”
Sesampainya di sekolah, Aku dan
Tulus beruntung tidak terlambat lagi. Seluruh guru piket tersenyum pada kami
kedua.
“Kebetulan tidak terlambat lagi. Lha itu baru siswa keren” Senyum Pak
Muktamir kala itu.
“Hehe. Alhamdulillah dapat hidayah pak.” Jawab kami dengan tertawa.
Kemudian kami berdua menuju ke
tempat parkir untuk memarkirkan sepeda dan bergegas menuju kelas untuk
mengikuti ngaji pagi. Namun, suasana kelas terasa aneh karena Bu Wiwik tak ada
di dalam kelas. Berutung teman-teman masih ikut ngaji bersama meskipun tanpa
beliau. Seusai ngaji kami sekelas bergegas menuju ke lapangan untuk mengikuti
pelajaran olahraga.
“Anak-anak, kamu tahu apa bedanya
kiper dengan guru?” Tanya Pak Dwi ketika jam pelajaran hampir berakhir.
“kalau kiper itu mainnya di
lapangan, pak. Kalau guru itu mainnya di kelas” jawabku disambut gelak tawa
teman-teman satu kelas
“Mesti
bocah iki lak aneh-aneh ae!” (Pasti anak ini senengannya yang aneh) Jawab
Pak Dwi dengan tawanya yang khas.
“Begini, nak! Jatuh bangun karena
bola itu hal yang biasa dilakukan. Bahkan orang yang tak bisa jadi kiper pun
bisa melakukan. Namun jatuh bangun karena mendidik anak itu adalah hal yang
luar biasa. Itu hanya bisa dilakukan seorang guru. Lakukan itu dan kamu pasti
bisa!” Begitulah nasihat Pak Dwi yang membuat kami semua kagum dan diiringi
oleh tepuk tangan. Pertanda mata pelajaran Olahraga telah selesai.
Hari itu sekolah pulang lebih awal.
Karena guru-guru akan melaksanakan rapat di sekolah. Semua siswa-siswi senang
seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Memang pulang lebih awal
adalah idaman bagi siswa-siswi bahkan di Indonesia. Aku, febri, Tulus, Bagas,
dan Mukib memutuskan untuk pergi ke rumah Bagas untuk refreshing hingga senja mulai muncul di langit.
Sesampainya di rumah, Aku disambut
Ibuk dengan linangan air mata.
“Ibuk kenapa?” Tanyaku dengan penuh
ragu.
“Baca ini, nak” Jawab Ibuk dengan
menyodorkan HP kepada ku.
“Innalillahi Wainna
Ilaihi Raaji’un, Telah berpulang ke Rahmatullah Bu Wiwik (Guru MAN Rengel) tadi
sore sebelum Maghrib. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan
semoga segala kesalahannya diampuni oleh Allah SWT dan dimasukkan kedalam
Jannah-Nya”
Aku terkejut seperti tidak percaya. Aku langsung
menuju ke warnet untuk melihat Facebook
yang saat itu menjadi media sosial terkenal di kalangan siswa. Meskipun hujan
membasahi jalan raya, Aku tetap menuju ke warnet. Seluruh teman-temanku membuat
status yang hampir mirip dengan pesan di HP ibuk.
“Innalillahi
wainna ilaihi raaji’un, kok cepat sekali njenengan pergi meninggalkan kami semua?” batinku dipenuhi rasa
tidak karuan.
Air mataku mulai menetes ketika
meninggalkan warnet tersebut. Perasaan tidak percaya masih menghinggap dalam
pikiran dan hatiku. Aku melihat sekolah tampak ramai dipadati oleh guru-guru
yang langsung rombongan menuju ke Madiun. Semuanya masih tak percaya. Aku
memutuskan untuk pulang ke rumah dan istirahat.
“Allahummaghfirlahaa
warhamhaa wa’afinii wa’fuanhaa” Doaku dalam hati ketika mengingat sosok
beliau.
Pagi itu, aku langsung menuju ke
sekolah bersama Tulus. Kebetulan dia mengajakku untuk berangkat lebih pagi.
Meskipun matahari tak nampak pada pagi itu.
“Ya Allah. Padahal wingi iseh nasihati awak dewe” (Padahal kemarin masih sempat
menasihati kita semua) Tanya Tulus dengan heran.
“Hmm. Aku wes gak iso ngomong maneh, jan” (Aku sudah tidak bisa bicara
lagi, jan) Jawabku dengan pasrah.
Sesampainya di sekolah, banyak
siswa-siswi menangis tiada henti. Benar-benar hari yang kelabu bagi sekolah.
Hujan air mata membasahi seragam putih mereka. Lapangan kala itu benar-benar
menangis. Semua siswa tidak siap untuk mengikuti apel hari Senin. Tiba saatnya
ketika amanat upacara, kepala sekolah menangis di depan siswa-siswi.
“Maafkan kesalahan Bu Wiwik. Semoga
beliau Khusnul Khotimah. Semoga
dimasukkan kedalam surga. Amiin” Kepala sekolah seketika itu langsung
meninggalkan tempat apel dan menuju ke kantor dengan sedikit tangis.
Seusai
apel, seorang siswi kelas XII tiba-tiba maju ke atas podium. Suaranya
terbata-bata saat membaca selembar kertas putih hasil coretan seseorang.
“Assalamu’alaikum Wr.Wb. Anak-anakku yang
dirahmati oleh Allah, sebelumnya saya mohon maaf jika saya memiliki banyak
salah ketika mengajar. Apalagi ketika menegur kalian yang sedang mengantuk atau
melanggar peraturan. Jika surat ini kalian baca, ini adalah surat cinta saya
kepada kalian semua. Sungguh beruntung saya bisa mengenal kalian semua. Dari
profesi ini, saya belajar banyak mengenai sifat-sifat kalian. Ada yang baik,
murah senyum, atau bahkan sering melanggar. Jika saya marah, itu bukan berarti
saya benci dengan kalian. Namun, justru marah saya itu adalah tanda cinta saya
kepada kalian semua. Jika kalian sudah lulus dari sekolah ini, maka
lanjutkanlah ke jenjang yang lebih tinggi. Dan jangan lupakan kedua orang
tuamu, guru-gurumu, atau bahkan teman seperjuanganmu. Karena kunci orang sukses
adalah orang yang tidak melupakan jasa pahlawannya di masa lampau. Kalian pasti
sukses, Insya Allah. Karena setiap guru pasti menginginkan kalian semua menjadi
orang sukses baik di dunia maupun di akhirat”
Siswi tersebut belum selesai
membacakannya. Namun air matanya sudah terlalu banyak menetes di podium
tersebut. Hingga akhirnya, rekan siswi tersebut menghampirinya dan mengajaknya
turun. Seluruh siswa-siswi hening tak berbicara. Memandang langit yang mulai
gelap. Diiringi suara isak tangis yang mulai reda. Seluruhnya tak terkecuali
aku menyanyikan lagu Gugur Bunga.
“Betapa
hatiku takkan pilu, telah gugur pahlawanku.
Betapa hatiku takkan
sedih, hamba ditinggal sendiri.”
Seusai menyanyikan lagu tersebut, kami memutuskan
untuk kembali ke kelas dengan wajah tertunduk. Tak ada lagi seorang komando
ketika mengaji. Kami hanya bisa mengandai-andai. Andai hari ini.....
(Selamat
Jalan, Semoga Allah mengampuni dosa njenengan.)#tholabulilmiajadulu #Teachersday
#25Nov2017
Comments
Post a Comment